Muda Senada - Bulan Agustus biasanya jadi momen penuh semangat nasionalisme. Bendera Merah Putih dikibarkan di mana-mana, lagu kebangsaan berkumandang, dan rakyat kembali diingatkan tentang perjuangan para pendiri bangsa.
Tapi tahun ini, suasananya agak berbeda. Di beberapa tempat, muncul pemandangan yang bikin sebagian orang geleng-geleng: bendera bajak laut dari anime One Piece, Jolly Roger, ikut berkibar.
Bukan di puncak tiang bendera upacara memang, tapi cukup mencolok untuk bikin masyarakat (dan pemerintah tentunya) bereaksi.
Respons publik langsung terbagi dua. Ada yang menganggap ini pelecehan terhadap simbol negara, ada juga yang membela habis-habisan sebagai bentuk kritik kreatif.
Di tengah debat ini, muncul pertanyaan yang jauh lebih penting: kenapa anak muda sampai merasa perlu mengibarkan bendera fiksi saat negara sedang merayakan kemerdekaan?
Bendera Bukan Sekadar Kain, Tapi Simbol Frustrasi
Secara hukum, Indonesia sudah punya aturan jelas lewat UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Pasalnya memang melarang tindakan yang merendahkan kehormatan bendera Merah Putih.
Jadi wajar, mungkin, kalau pejabat DPR merasa tersinggung ketika melihat Jolly Roger berdiri di bawah, atau bahkan di samping bendera kebangsaan.
Buat mereka, ini bukan soal anime atau fandom. Ini soal martabat nasional.
Tapi kita gak bisa cuma berhenti di pasal-pasal hukum. Karena kalau kita tarik mundur, banyak dari mereka yang mengibarkan Jolly Roger sebenarnya bukan ingin menghina negara.
Mereka sedang mencoba bicara, dengan cara yang dimengerti sesama generasi.
Dalam cerita One Piece, bendera bajak laut bukan cuma tanda pemberontakan. Ia adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, korupsi, dan penguasa sewenang-wenang.
Makanya, ketika bendera itu dikibarkan di dunia nyata, ia membawa makna yang jauh lebih dalam dibanding sekadar “gaya-gayaan”.
Prof. Mahfud–pakar hukum ternama Indonesia–bilang, hukum gak bisa jalan asal main tuduh. Harus dibuktikan niatnya dulu.
Kalau ternyata niat pengibar bendera itu bukan untuk menghina, melainkan menyampaikan kritik sosial, maka secara hukum dia gak bisa dipidana.
Ini penting, karena niat adalah fondasi dari semua penegakan hukum yang adil. Dan dalam konteks ini, niatnya justru muncul dari keresahan yang valid.
Negara Harusnya Nggak Gagal Baca Bahasa Warganya
Fenomena ini sebetulnya bisa jadi cermin besar buat pemerintah. Di satu sisi, Presiden Prabowo menunjukkan sikap yang cukup terbuka.
Beliau menganggap pengibaran Jolly Roger sebagai bentuk ekspresi masyarakat, dan menegaskan bahwa pemerintah tidak akan represif.
Tapi beliau juga menekankan satu hal penting: Merah Putih tetap harus dihormati.
Jangan sampai ada simbol lain yang dipasang lebih tinggi atau sejajar dengannya. Ini adalah garis etis yang beliau garisbawahi.
Tapi mari kita jujur. Kalau rakyat benar-benar puas, mereka gak bakal cari-cari cara ‘ekstrem’ buat menyampaikan pendapat. Mereka gak akan repot bikin bendera, atau pilih simbol dari anime, hanya untuk bilang “kami kecewa.”
Ini semua terjadi karena saluran formal untuk menyampaikan kritik seringkali dibungkam atau gak digubris. Jadi, budaya pop pun dipakai sebagai alat komunikasi alternatif.
Namun sayang, di sinilah kadang negara tampak telat belajar. Anak muda udah ganti bahasa. Mereka gak teriak di demo, mereka bikin meme, cosplay, dan ya… ngibarin bendera One Piece.
Sayangnya, pemerintah masih menganggap itu sekadar kenakalan atau provokasi. Padahal, itu adalah bentuk komunikasi. Kalau negara gagal memahami pesan, lalu siapa yang harus disalahkan?
Penutup: Kalau Negara Denger, Rakyat Gak Perlu Teriak Pakai Simbol Bajak Laut
Polemik bendera One Piece bukan sekadar tentang bendera. Ini refleksi dari sesuatu yang lebih dalam: ketegangan antara aspirasi warga dengan cara negara menyikapinya.
Kita bisa saja terus debat soal etika dan hukum, tapi selama negara gagal menyediakan ruang yang aman dan terbuka untuk menyampaikan kritik, rakyat akan terus mencari cara lain—bahkan lewat simbol fiksi sekalipun.
Jadi, kalau ke depan pemerintah masih mau denger, seharusnya gak perlu nunggu rakyat pakai tengkorak bajak laut buat menyampaikan keresahan. Karena kritik itu wajar.
Tapi kalau negara terus tutup telinga, ya siap-siap saja. Hari ini Jolly Roger, besok bisa aja simbol lain yang lebih frontal.
Karena satu hal yang pasti: rakyat gak akan diam kalau rasa keadilan terus diabaikan.
0 Comments