Bisakah Orang Bodoh Menjadi Penguasa? Ya, dan Itu Masalahnya

 

Bisakah Orang Bodoh Menjadi Penguasa? Ya, dan Itu Masalahnya

Muda Senada - Kadang kita nonton berita (luar negeri, ya), terus mikir: “Ini orang beneran mimpin negara?” Tapi ternyata jawabannya bisa jadi iya.

Ini bukan hal baru, bukan juga cuma terjadi di satu negara. Dunia ini emang punya sejarah panjang soal orang yang secara kompetensi biasa aja, tapi entah kenapa bisa duduk di kursi kekuasaan.


Kenapa bisa begitu? Karena manusia gampang banget terpesona sama tampilan luar. Machiavelli udah ngomongin ini dari abad ke-16. Buat dia, yang penting dalam kekuasaan bukan soal kamu pinter atau nggak, tapi soal kamu kelihatan pinter atau nggak. Publik tuh lebih gampang jatuh cinta sama pemimpin yang tampil percaya diri, punya retorika tajam, dan kelihatan “yakin”—walaupun isinya tipis banget.


Efek Dunning-Kruger juga bantu menjelaskan ini. Orang yang sebenarnya nggak begitu paham bisa merasa paling tahu. Ironisnya, rasa percaya diri palsu itu kelihatan meyakinkan di mata masyarakat. Di lain sisi, orang yang beneran ngerti sering justru ragu dan penuh pertimbangan.


Publik jadi salah sangka: yang banyak mikir dianggap plin-plan, yang asal ngomong dianggap tegas.


Dan parahnya, sistem demokrasi modern sering kali kasih panggung buat orang kayak gini. Pemilu jadi soal citra, bukan isi. Kampanye jadi soal gimmick, bukan visi. Kita milih yang paling lantang suaranya, bukan yang paling tajam logikanya.

Apa Risiko Kalau Pemimpinnya Tidak Kompeten?


Kalau pemimpinnya nggak ngerti cara kerja kebijakan publik, akibatnya bisa kacau total. Salah ambil keputusan bukan cuma bikin malu, tapi bisa berdampak langsung ke ekonomi, pendidikan, bahkan nyawa rakyat.


Contohnya? Bayangin pemimpin yang nggak ngerti sains tapi ngotot bikin kebijakan soal pandemi. Atau yang nggak paham hukum tapi doyan bikin peraturan.


Hasilnya? Kacau. Negara jadi eksperimen berjalan. Rakyat jadi kelinci percobaan dari ego yang dibungkus percaya diri palsu.


Dan di era global kayak sekarang, pemimpin nggak bisa cuma modal jargon. Dunia makin kompleks. Butuh kemampuan baca data, diplomasi, dan adaptasi cepat. Kalau pemimpinnya lemah dalam hal itu, negara bakal ketinggalan. Sementara negara lain udah naik mobil listrik, kita masih debat soal bensin.


Parahnya, efeknya baru kerasa setelah bertahun-tahun. Kita baru sadar udah dibohongi saat dampaknya udah bikin susah hidup. Jadi bukan cuma salah pemimpinnya, tapi juga publik yang gampang kepincut gaya doang.

Penutup: Publik Butuh Melek, Bukan Tergoda Panggung


Jadi jawabannya jelas: iya, orang bodoh bisa jadi penguasa. Tapi bukan karena sistem rusak total, tapi karena publik kadang terlalu malas buat mikir dua kali. Kita perlu mulai bedain antara gaya bicara dan isi otak. Antara pede palsu dan kepemimpinan sejati.


Kita harus stop milih orang karena dia “relatable” atau “berani ngomong blak-blakan” doang. Kepemimpinan bukan kontes stand up comedy. Ini soal nasib jutaan orang. Dan nasib itu harus dititipkan ke tangan yang ngerti arah, bukan sekadar bisa bikin viral.


Jadi sebelum nanti pemilu atau pemilihan apapun datang, ingat satu hal: jangan gampang jatuh cinta sama suara keras. Lihat siapa yang bisa mikir tenang di tengah ribut. Karena suara keras bisa kosong, tapi pikiran tenang bisa menyelamatkan negara.


Artikel ini bukan untuk menyindir siapa-siapa. Tapi kalau Anda merasa tersindir, ya mungkin ada yang perlu direnungkan.


---


Kredit: Youtube Dalam Diam

Post a Comment

0 Comments