Apakah Civitas Akademika Indonesia Boleh Melayangkan Kritik dan Protes ke Negara?

Apakah Civitas Akademika Indonesia Boleh Melayangkan Kritik dan Protes ke Negara?

Muda Senada - Bayangin kampus lo digertak negara. Dana dicabut, mahasiswa asing diusir, semua gara-gara aksi solidaritas terhadap Palestina. Itu yang kejadian di Harvard.

Tapi mereka nggak ciut. Justru balik gugat pemerintah. Serius. Kampus paling elit itu maju ke pengadilan dengan dalih kebebasan akademik dan privasi mahasiswa dilanggar.


Ini bukan semata-mata soal politik luar negeri. Ini soal prinsip. Soal kampus yang berdiri bukan buat ikut arus, tapi buat jaga akal sehat publik. Harvard ngajarin satu hal penting: kampus bisa jadi lawan yang seimbang buat negara, kalau prinsip diganggu.


Harvard bukan satu-satunya. Di Florida, akademisi dan mahasiswa ngamuk karena teori sosial dilarang. Di Jepang, dosen nuntut negara gara-gara dana publik nggak transparan. Di Malaysia, kampus menolak sensor bahasa pengantar. Semua ini nunjukin satu pola: kampus bisa dan boleh bilang “nggak setuju” ke negara.


Mereka ngerti, kalau diem aja, artinya ikut bersalah. Ilmu itu bebas, dan tempat nyari ilmu harus jadi tempat paling keras menolak pembodohan sistematis.

Di Indonesia, Bisa Nggak Kampus Teriak “Lawan!”?


Secara aturan? Bisa banget. Judicial Review, Class Action, Citizen Lawsuit—semuanya legal. Contoh nyatanya ada: UII pernah gugat UU KPK. Tapi kenapa nggak banyak kampus lain ngelakuin hal yang sama?


Hukum ada. Tapi mentalnya? Gak semua kampus siap ambil risiko. Gugatan udara Jakarta aja prosesnya bertahun-tahun. Dan itu udah bikin banyak orang ilfeel duluan buat mulai.


Masalahnya bukan karena civitas akademika kita gak peka. Tapi struktur kampus negeri di Indonesia tuh banyak yang kayak anak kos yang uang jajannya masih dikirimin orang tua. Maksudnya, terlalu tergantung sama negara. Takut kalau kritik nanti disetop anggarannya. Takut di-blacklist. Takut rektor gak diangkat lagi.


Ditambah lagi, ada budaya senioritas, birokrasi berlapis, dan ancaman intimidasi. Dosennya bisa dicopot. Mahasiswanya bisa dikriminalisasi. Jadi kalau lo berharap kampus langsung demo besar-besaran kayak di luar negeri, itu ekspektasi yang terlalu manis buat realita yang pahit.

Kampus Harus Berani, Tapi Harus Pintar


Protes penting, tapi kalau gayanya kayak nyinyir doang di Twitter, ya nggak ngaruh. Harus ada strategi. Harus pakai data, argumen hukum, dan aliansi yang kuat. Bukan cuma emosional.


Kampus punya privilege buat riset, analisis, dan punya jaringan intelektual. Jadi kalau mau protes, harus kelas berat juga. Bukan sekadar trending sesaat.


Kampus bisa banget gandeng lembaga hukum, LSM, atau bahkan media. Bikin pernyataan resmi, ajukan gugatan hukum, atau bentuk tim advokasi internal. Harvard bisa lawan Trump bukan karena nekat, tapi karena siap.


Di Indonesia pun bisa. Asal mau bersatu dan nggak takut rugi citra. Karena mempertahankan integritas jauh lebih keren daripada sekadar jaga hubungan baik sama penguasa.

Diam Itu Bukan Netral, Tapi Menyerah


Kritik dan protes dari kampus itu bukan tanda kurang ajar. Itu justru bentuk paling elegan dari tanggung jawab intelektual. Di dunia yang makin penuh kebijakan ngawur dan disinformasi, kampus seharusnya jadi penyeimbang, bukan penonton.


Kalau civitas akademika terus diam, takut ini-itu, kita akan kehilangan benteng terakhir akal sehat. Dan ketika benteng itu roboh, masyarakat sipil bakal sendirian hadapi kekuasaan. Jadi, bolehkah kampus kritik negara? Nggak cuma boleh. Harus.


Post a Comment

0 Comments