Muda Senada - Gen Z itu sudah kayak selebgram: selalu jadi bahan obrolan, entah dipuji entah dicaci.
Setiap nongol di headline, komentar gen lain–terutama yang lebih tua–itu sudah template: “Anak sekarang gampang baper,” atau “Generasi rebahan.”
Pun di saat yang bersamaan, Gen Z dituding lemah, manja, dan terlalu sibuk dengan mental health.
Stereotip itu udah nempel kayak stiker di laptop anak kuliahan—susah dilepas.
Namun masalahnya, opini seperti ini sering tanpa data. Hanya karena beda zaman, bukan berarti satu generasi otomatis inferior dibanding yang lain.
Makanya penting buat lihat lebih dalam. Jangan cuma lihat permukaan kayak liat Instagram Story lima detik.
Kita bahas Gen Z dengan benar, dengan realitas, biar nggak nyasar di stereotip yang basi.
Definisi Gen Z
Apa Itu Gen Z?
Gen Z merupakan bagian dari klasifikasi generasi manusia yang pembagiannya didasarkan pada rentan tahun tertentu di masa modern.
Beberapa ahli memiliki pandangan yang berbeda mengenai rentan tahun lahirnya Gen Z. Namun setidaknya, pandangan yang paling banyak digunakan adalah: Gen Z merupakan generasi lahir yang lahir di rentan tahun 1997–2012, atau 2015.
Jadi bisa dikatakan, siapa pun yang lahir setelah era kaset tape mulai digantikan MP3, dan sebelum AI kayak Chat GPT jadi tren sehari-hari, bisa dibilang adalah bagian dari Gen Z.
Mereka tumbuh bareng sama Google, Facebook, Twitter, dan TikTok. Hidup mereka tuh udah auto sinkron sama timeline perkembangan teknologi global.
Rentang Umur Gen Z
Kalau dihitung di tahun 2025, anggota Gen Z yang paling tua udah berusia 28 tahun, sementara yang paling muda baru 10 tahun.
Baca Juga: Bukan Ngeluh Soal Tua, Gen Z Harus Sadar Tanggung Jawab Lebih
Jadi jangan salah, Gen Z itu bukan cuma mahasiswa yang sibuk skripsi sambil ngerjain side hustle, tapi juga anak SMP yang masih rebutan hotspot WiFi di rumah.
Dari sini, perlu ditekankan, Rentang usia Gen Z itu luas. Implikasinya, problematika yang mereka alami pun berbeda-beda. Jadi sangat sulit untuk menggeneralisir semua Gen Z dalam satu stereotip yang template.
Jumlah Gen Z di Indonesia
Menurut data BPS 2024, jumlah Gen Z di Indonesia mencapai 74,93 juta jiwa. Itu hampir sepertiga dari total penduduk Indonesia.
Bayangin aja, kalau semua Gen Z di Indonesia ngeluh barengan di Twitter, trending topic bisa penuh satu minggu.
Dengan jumlah segitu besar, wajar banget kalau mereka punya pengaruh gede di ekonomi, budaya, bahkan politik.
Ciri-Ciri dan Kebiasaan Gen Z
1. Identitas Digital & Gaya Hidup Teknologi
Gen Z disebut true digital natives. Mungkin sebagian besar dari mereka ngalamin awal hidup tanpa internet. Tapi at least, di umur belasan tahun, merekan sudah tahu apa itu dunia digital.
Bayangin, sebagian besar bahkan nggak pernah pakai telepon rumah. Hidup Gen Z itu figital, perpaduan fisik dan digital. Nongkrong di kafe? Harus update dulu ke Instagram.
Mereka juga adaptif banget. Ada platform baru, mereka langsung coba. Dari Friendster pindah ke Facebook, lalu ke Instagram, dan sekarang TikTok.
Tapi konsekuensinya, mereka terbiasa dengan hasil instan. Pesan makanan tinggal klik, belajar bisa lewat YouTube, bahkan kerja bisa remote. Semua real-time.
2. Nilai & Pola Pikir Hidup
Gen Z cinta akan kebebasan dan independensi. Mereka nggak mau dikekang sistem lama yang ribet.
Mereka juga realistis dan kompetitif. Banyak yang jago DIY—dari ngedit video sampai bikin bisnis kecil-kecilan dari rumah.
Mereka haus personalisasi. Baju, playlist, bahkan aplikasi HP harus sesuai karakter mereka.
Satu lagi, mereka lebih peduli sama well-being. Berbeda dengan generasi lama yang kadang nganggap lembur itu wajar, Gen Z lebih milih self-care. Work-life balance jadi prioritas.
3. Relasi Sosial & Ekonomi
Konsep komunitas buat Gen Z beda. Mereka weconomist, lebih suka kolaborasi ketimbang kompetisi kaku.
Dan di lain sisi, perlu diakui, FOMO di dunia Gen Z itu nyata. Mereka Takut ketinggalan tren sosial yang bahkan sering bikin mereka impulsif.
Tapi sisi positifnya, mereka sangat terbuka dengan perbedaan. Diversity is the norm. Mereka biasa nongkrong bareng lintas identitas, budaya, atau gender.
Dan jangan remehkan kepedulian mereka terhadap isu sosial. Dari climate change sampai kesetaraan gender, mereka paling vokal di medsos.
4. Konsumsi & Finansial
Kalau ngomongin duit, Gen Z ini unik. Mereka punya kecenderungan doom spending—boros karena stres. Lagi overthinking, eh malah checkout keranjang Shopee.
Tapi jangan salah, banyak juga yang udah financially savvy. Dari saham, kripto, sampai side hustle, mereka melek finansial.
Mereka lebih milih traveling dibanding beli barang mewah. Pengalaman—juga postingan di medsos—lebih penting ketimbang sekadar punya.
Dan ya, mereka ambisius. Ingin sukses cepat, kadang terjebak hustle culture.
5. Psikologis & Emosi
Mental health itu topik utama buat Gen Z. Anxiety tinggi, terutama karena tekanan sosial dan ekonomi.
Bayangin, mereka lahir di era krisis ekonomi 2008, tumbuh di masa pandemi, dan sekarang harus berkompetisi di dunia kerja yang makin brutal.
Di lain sisi, secara emosional, mereka butuh pengakuan, gampang kena FOMO, dan haus validasi.
Tapi jangan salah, kompetisi juga bikin mereka terpacu. Mungkin saja, Gen Z bisa jadi generasi yang paling kuat sekaligus paling rapuh di saat bersamaan.
Perbedaan Gen Z dengan Generasi Lain – Gen X (Milenial), Gen X, dan Gen Alpa
Gen Z vs Milenial (Gen Y)
Milenial lahir antara tahun 1981–1996. Mereka generasi peralihan: sempat ngerasain masa surat fisik, telepon rumah, kaset, lalu pelan-pelan pindah ke email, SMS, warnet, sampai media sosial awal.
Mungkin hal ini yang buat mereka mereka sering ngerasa “paling ngerti transisi zaman.”
Tapi masalahnya, justru Milenial ini yang paling sering nyinyir ke Gen Z. Sok paling tua, sok paling paham dunia, padahal jarak umurnya nggak sejauh itu.
Kalau ada video lawas muncul di FYP TikTok—misalnya MTV tahun 2000-an—langsung ada komentar, “Adek-adek Gen Z mana tau ini.” Atau pas ada FYP orang mindahin channel TV pakai kaki, selalu muncul komentar, “Simpel, tapi Gen Z gapernah ngerasain.”
Lah, siapa bilang? Anak Gen Z yang lahir akhir 90-an atau awal 2000-an juga sempet ngalamin hal-hal itu. Jadi bukan cuma Milenial yang punya “hak eksklusif” nostalgia.
Kesel, tapi ya sudahlah.
Perbedaan utama antara Milenial dan Gen Z terletak pada mindset. Gen Z ingin semuanya serba instan. Di satu sisi Milenial punya rasa sabar yang lebih.
Milenial masih bisa sabar nunggu buffering video YouTube yang muter-muter, Gen Z langsung frustasi kalau delay satu detik.
Milenial terbiasa dengan transisi, Gen Z udah default digital.
Tapi ya, jangan mentang-mentang ngalamin masa peralihan, terus seenaknya ngeremehin adik generasi.
Gen Z vs Gen X
Gen X adalah mereka yang lahir antara 1965–1980. Mereka biasanya orang tua Gen Z sendiri.
Pola pikir mereka dibentuk oleh masa ketika kerja keras, disiplin, dan loyal sama kantor dianggap jalan utama menuju stabilitas hidup. Maka nggak heran kalau mereka paling sering menggurui Gen Z.
Komentarnya khas: “Dulu bapak itu…” atau “Wah kalau zaman dulu…”—seolah semua yang dulu otomatis lebih baik. Padahal dunia udah berkembang, masalah juga beda.
Kalau dulu cukup kerja puluhan tahun di satu kantor biar mapan, sekarang nggak ada jaminan kayak gitu.
Dan ya, mereka sering maksa perspektifnya ke anak-anaknya yang notabene Gen Z.
Mungkin wajar, karena posisi mereka orang tua, jadi pengen ngajarin. Tapi rasanya kadang nggak nyambung.
Yang Gen X anggap “ketahanan” seringkali bagi Gen Z justru “keterpaksaan”. Dan yang Gen Z anggap realistis-efisien, sering dianggap malas sama Gen X.
Perbedaan antara Gen X dan Gen Z pada dasarnya bukan soal siapa benar atau salah, tapi soal cara baca realitas yang udah jauh berubah.
Gen Z vs Gen Alpha
Gen Alpha adalah mereka yang lahir mulai 2013 ke atas, dan diperkirakan akan terus berlanjut hingga sekitar 2025.
Mereka sering disebut sebagai “anak-anak digital native sejati” karena lahir di era ketika kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), big data, dan metaverse sudah menjadi bagian sehari-hari.
Kalau Gen Z menyaksikan lahirnya TikTok atau pertumbuhan e-commerce, Gen Alpha sudah sejak kecil akrab dengan tablet, smart home, bahkan asisten virtual.
Perbedaan utama anatara Gen Z dan Gen Alpa adalah kedalaman teknologi.
Gen Z tumbuh dengan eksplorasi: mereka mengalami media sosial bermunculan dan bereksperimen dengan platform.
Sementara Gen Alpha tumbuh dengan sistem otomatis: teknologi sudah “ada” dan langsung bekerja untuk mereka.
Kalau Gen Z masih ingat BBM atau pernah pakai SMS, Gen Alpha mungkin tidak akan pernah mengenal keduanya.
Jadi, Gen Z punya karakter petualang digital, sementara Gen Alpha lebih “native otomatis”, terbiasa dunia di mana mesin berpikir lebih cepat dari manusia.
Stereotip Mengenai Gen Z
Dengan adanya pola perbedaan antara Gen Z dengan gen lain, muncul satu hegemoni yang sulit dihindari: semakin besar jarak cara pandang, semakin gampang pula lahir stereotip.
Apa yang dianggap wajar oleh Gen Z sering terlihat aneh bagi generasi lain, dan sebaliknya.
Dari sinilah bermunculan berbagai cap yang terus menempel pada Gen Z, baik di ruang publik maupun percakapan sehari-hari.
Berikut adalah stereotip yang sering dialamatkan pada Gen Z:
Terlalu Tergantung Teknologi & Media Sosial
Gen Z sering dianggap generasi yang hidupnya menempel pada layar. Mereka dinilai tidak bisa lepas dari HP, bahkan untuk hal-hal sederhana sehari-hari.
Media sosial dianggap sebagai pusat hidup mereka, mulai dari hiburan, komunikasi, hingga mencari validasi.
Banyak orang melihat interaksi tatap muka mereka semakin minim karena terlalu sibuk dengan dunia digital.
Kurang Etos Kerja & Malas Menghadapi Tantangan
Citra yang melekat pada Gen Z adalah generasi “stroberi”: indah di luar tapi rapuh di dalam.
Mereka dituding tidak tahan tekanan, mudah menyerah, dan cepat bosan.
Sering juga dibilang tidak sabar, kurang serius, serta lebih suka jalan pintas ketimbang proses panjang.
Tidak Menghargai Pendidikan Formal
Gen Z kerap dipersepsikan tidak menghormati sistem pendidikan yang mapan.
Mereka lebih memilih jalur alternatif seperti kursus singkat, belajar dari internet, atau jalur otodidak.
Hal ini menimbulkan pandangan bahwa mereka malas sekolah, tidak disiplin, dan tidak serius menempuh pendidikan formal.
Individualistis & Anti-Komunitas Tradisional
Gen Z sering dilihat sebagai generasi yang terlalu sibuk dengan diri sendiri.
Gaya hidup yang menekankan self-care dan personalisasi dianggap membuat mereka kurang peduli pada kepentingan bersama.
Mereka dipandang enggan ikut kegiatan sosial, menolak tradisi kolektif, dan lebih memilih hidup dengan aturan mereka sendiri.
Anti-Komitemen & Tidak Bisa Diandalkan
Gen Z sering dicap sulit diandalkan karena enggan berkomitmen jangka panjang.
Di dunia kerja, mereka dikenal suka berpindah-pindah pekerjaan (job-hopping) dan mudah bosan.
Dalam hubungan personal, mereka dinilai cepat menyerah dan tidak stabil dalam menjaga ikatan.
Konsumtif & Fokus pada Kepuasan Sesaat
stereotip lain yang kuat adalah sifat konsumtif. Gen Z dianggap terlalu suka berbelanja, boros, dan hanya mengejar kesenangan sesaat.
Mereka sering dilihat lebih memilih traveling, nongkrong, atau belanja online ketimbang menabung untuk masa depan.
Gaya hidup instan ini memperkuat citra mereka sebagai generasi hedonis yang tidak berpikir panjang.
Kesenjangan Antara Stereotip dan Perbedaan Pola Hidup Antar Generasi
Tapi ya, semua stereotip di atas terlalu simplistik. Nyatanya, generasi mana pun punya pola konsumsi, pola belajar, dan gaya hidupnya sendiri.
Gen Z cuma kebetulan tumbuh di era serba cepat. Jadi, ya otomatis perilaku mereka menyesuaikan.
stereotip-stereotip di atas memang sering sekali dilemparkan ke Gen Z. Dari obrolan warung kopi sampai seminar kampus, label seperti “generasi stroberi”, “hedonis”, atau “anti komunitas” sudah jadi bahan gosip umum.
Rasanya hampir semua orang pernah mendengar atau bahkan ikut mengulanginya.
Pun, kalau dipikir-pikir, narasi itu sudah mulai terdengar basi. Seakan-akan Gen Z hanya dilihat dari sisi lemah dan dangkal, tanpa usaha untuk memahami konteks kenapa perilaku itu muncul.
Padahal dunia yang mereka jalani jauh berbeda dari generasi sebelumnya.
Karena itu, bagian berikutnya akan menyinggung fakta serta kelebihan Gen Z yang sering terlewat ketika mereka hanya dilihat lewat kacamata stereotip.
Fakta dan Kelebihan Mengenai Gen Z Yang Tidak Disadari Gen Lain
Perlu ditekankan, terlepas adanya macam-macam tudingan di atas, ada alasan kuat kenapa Gen Z terbentuk seperti sekarang.
Dunia tempat mereka tumbuh berbeda total dengan generasi sebelumnya.
Kalau Gen X dan Milenial bisa bilang hidup mereka relatif stabil di usia muda,
Gen Z justru lahir di tengah pusaran krisis: krisis finansial global 2008, pandemi 2020, sampai isu climate change yang makin nyata.
Jadi, rasa cemas dan sikap serba cepat yang mereka punya bukan sekadar gaya hidup—itu respons alami terhadap dunia yang penuh ketidakpastian.
Peduli media sosial, misalnya, sering dianggap dangkal. Tapi di balik itu, medsos adalah ruang kerja dan arena eksistensi.
Banyak anak Gen Z yang bisa hidup dari personal branding, jadi kreator konten, atau sekadar membangun jejaring profesional lewat LinkedIn.
Apa yang bagi generasi lama terlihat seperti “scroll nggak penting”, bagi Gen Z adalah investasi jangka panjang untuk reputasi. Identitas digital bukan sekadar hobi, tapi modal sosial.
Soal etos kerja, tudingan “malas” juga gampang dipatahkan kalau kita lihat datanya.
Gen Z justru yang paling getol mencari side hustle, mulai dari freelance desain, jualan online, sampai trading.
Bedanya, mereka nggak mau terjebak dalam rutinitas yang dianggap nggak masuk akal.
Loyalitas bagi mereka bukan soal lama kerja, tapi soal relevansi dan peluang berkembang.
Kalau perusahaan mandek, pindah kerja dilihat sebagai strategi, bukan pengkhianatan.
Di ranah pendidikan, Gen Z berani keluar jalur. Mereka sadar ijazah tetap penting, tapi mereka juga tahu industri nggak lagi menilai “gelar” semata.
Skill coding, desain, data, marketing—itu semua bisa didapat lewat bootcamp, kursus singkat, atau bahkan YouTube.
Bagi Gen Z, belajar adalah proses yang cair: cepat, praktis, dan bisa langsung diuji di lapangan.
Ini bikin mereka lebih fleksibel menghadapi perubahan tren pekerjaan.
Yang menarik, Gen Z punya kelebihan dalam hal sensitivitas sosial.
Mereka vokal soal isu lingkungan, kesetaraan gender, hingga kesehatan mental.
Kalau generasi sebelumnya sibuk fokus pada “bertahan hidup”, Gen Z justru menganggap keberlanjutan hidup dan keadilan sosial sama pentingnya.
Mereka mungkin terlihat ribut di Twitter, tapi itu wujud nyata kepedulian dan keberanian bersuara.
Akhirnya, inti kelebihan Gen Z ada di adaptabilitas. Mereka lincah berpindah platform, luwes menyesuaikan diri, dan cepat belajar hal baru.
Kalau generasi lama bisa bangga dengan loyalitas, Gen Z punya sesuatu yang sama berharganya: fleksibilitas.
Dunia sekarang memang nggak bisa lagi dipetakan dengan pola pikir yang “plek ketiplek” dari masa lalu.
Justru karena cara mereka berbeda, Gen Z bisa survive dan bahkan membuka jalan untuk pola hidup yang lebih relevan dengan zaman.
Penutup
Gen Z sering dicap Generasi Stroberi. Manis di luar, rapuh di dalam.
Padaha, kalau dilihat lebih dekat, mereka itu seperti kaktus harusnya.
Mungkin keliatan rapuh, sok kuat dengan mamer duri, padahal tumbuh di tanah gersang, dan tetap hidup.
Generasi ini bukan sekadar korban stereotip. Mereka pelaku utama perubahan.
Dengan jumlah besar, dengan cara berpikir baru, mereka lagi membentuk pola dunia yang beda.
Jadi, sebelum nge-judge, mungkin lebih baik kita coba paham dulu.
Karena siapa tahu, yang kita anggap lemah justru generasi yang bakal benerin kekacauan warisan dunia lama.
0 Comments