Bukan Ngeluh Soal Tua, Gen Z Harus Sadar Tanggung Jawab Lebih

Bukan Ngeluh Soal Tua, Gen Z Harus Sadar Tanggung Jawab Lebih

Muda Senada - Belakangan banyak yang bilang kalau Gen Z–khususnya yang umur 22 lebih–sudah merasa tua. Apalagi Gen Z sekarang, sudah banyak dipanggil om-tante sama Gen Alpa yang lahir belakangan.

Kalau pakai hitungan Gen Z lahir di rentang tahun 1997–2012, artinya di tahun 2025 ini, Gen Z tertua sudah berumur 28 tahun, dan yang paling muda masih 13 tahun.


Dari total populasi penduduk dunia global, kira-kira ada sekitar 41-42% gen Z yang sudah umur 22 atau lebih.


Dengan ini, sangat mungkin cukup banyak yang mungkin relate dengan isu “merasa tua” ini.


Namun begitu, yang harus jadi fokus pikiran para Gen Z pada dasarnya bukan soal umur. Yang penting justru mindset.


Karena di umur segini, seharusnya kita sadar bahwa tanggung jawab yang akan dihadapi jauh lebih besar.


Bukan waktunya lagi mengeluh soal angka usia, atau merasa sok tua. Tapi sudah harus mikirin cara berdiri tegak menghadapi dunia nyata.

Tekanan Sosial dan Mindset Usia


Media sosial memainkan peran besar dalam bikin Gen Z merasa “menua” lebih cepat dari seharusnya. Fenomena ini sering disebut “digital aging.”


Bukan kulit keriput yang jadi masalah, tapi perasaan bahwa hidup berjalan lebih cepat karena kita terus membandingkan diri dengan orang lain.


Scroll TikTok, kita lihat anak 18 tahun sudah sukses bikin startup. Buka Instagram, ada teman lama yang baru saja beli rumah atau nikah.


Sementara kita masih bingung mau sarapan apa. Perbandingan ini bikin kita merasa milestone hidup kita lambat.


Kehadiran Gen Alpha juga jadi faktor. Mereka lahir lebih digital native, lebih ekspresif, lebih cepat adaptasi tren.


Akibatnya, Gen Z merasa mundur ke posisi “generasi kakak” yang mulai kehilangan spotlight. Padahal sebenarnya kita baru masuk fase dewasa awal.


Bahaya dari mindset “udah tua” di usia muda ini cukup serius. Kita jadi gampang insecure, merasa lelah sebelum berjuang, bahkan ada yang memilih menyerah lebih cepat pada mimpi.


Padahal kenyataannya, usia 22–28 itu adalah masa paling produktif dalam siklus hidup.


Energi masih penuh, kesempatan masih terbuka, dan eksperimen masih mungkin dilakukan. Kalau mindsetnya sudah kalah duluan, kita sendiri yang akan kehilangan momentum.

Tanggung Jawab yang Menunggu Gen Z


Di umur 22, hidup Gen Z sudah mulai masuk babak baru. Sebagian besar sudah lulus kuliah, mulai bekerja, atau bahkan membangun bisnis sendiri. 


Tantangan finansial jadi nyata: bayar kos, cicilan, atau sekadar nabung buat traveling.


Selain itu, banyak Gen Z juga mulai dituntut untuk mandiri. Orang tua sudah tidak bisa sepenuhnya jadi sandaran, bahkan beberapa malah sudah jadi tulang punggung keluarga.


Tanggung jawab sosial pun makin besar: dari urusan pekerjaan, relasi pertemanan, sampai keterlibatan dalam isu-isu global seperti lingkungan dan politik.


Kalau ditarik data, sekitar 52% Gen Z Indonesia sudah masuk angkatan kerja. Itu artinya, mereka otomatis punya peran dalam roda ekonomi.


Jadi mindsetnya memang harus shifting. Dari sekadar “anak muda pencari jati diri” ke “dewasa muda yang berkontribusi.”


Dengan begitu, arah hidup Gen Z ke depan lebih jelas. Bukan hanya sibuk merasa tua, tapi siap mengambil tanggung jawab.


Karena dunia nggak peduli kita merasa umur 22 itu tua atau nggak. Yang dilihat adalah bagaimana kita berperan.

Penutup


Pada akhirnya, tua itu cuma angka. Yang jauh lebih penting adalah tanggung jawab yang kita emban.


Gen Z nggak boleh keburu capek dengan label “sudah tua,” padahal umur baru masuk fase emas.


Kalau masih sibuk drama soal usia, kita bisa kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan energi muda dengan maksimal.


Jadi, sudah waktunya stop insecure, mulai fokus menata masa depan.


Bukan merasa tua, Gen Z harus sadar tanggung jawab lebih besar sedang menunggu.

Post a Comment

0 Comments