Muda Senada - Banjir udah kayak temen toxic. Datang rutin, ninggalin trauma, terus muncul lagi tanpa solusi. Dari lereng gunung sampai perumahan elit, semuanya kena guyur air bah. Mobil hanyut, rumah ambruk, dan mall-mall yang katanya kebal segalanya juga ikut babak belur. Tahun-tahun kemarin, air bahkan udah sampai depan istana. Tinggal selangkah lagi masuk ke ruang sidang.
Gak cuma banjir. Kebakaran hutan bikin langit kayak neraka versi trial. Asapnya bikin mata perih, napas sesak, jarak pandang tinggal beberapa meter. Anak-anak batuk, lansia kolaps. Ditambah tanah longsor yang kadang nyeret kampung seisi-isinya tanpa aba-aba.
Laut? Jangan tanya. Limbah industri, minyak bocor, dan plastik bikin pantai gak bisa dibedain sama TPA. Ekosistem laut porak-poranda. Nelayan bingung cari ikan. Masyarakat pesisir makin terdesak.
Semua ini bukan karena hujan kelewat rajin. Ini karena kebijakan negara yang bolong di mana-mana. Hutan ditebang tanpa otak. Drainase kota gak jelas perawatannya. Pabrik seenaknya buang limbah. Tapi solusi yang ditawarkan malah... program ekoteologi?
Proyek Ekoteologi: Bagus Di Atas Kertas, Gagal di Realitas
Oke, jujur aja. Ajaran agama emang ngajarin kita buat sayang sama alam. Islam punya konsep khalifah. Hindu punya Tri Hita Karana. Kristen dan Katolik ngajak umat menjaga ciptaan Tuhan. Budha ngajarin welas asih ke semua makhluk. Konghucu ngomongin harmoni.
Tapi pertanyaannya: kenapa ajaran itu sekarang dikomodifikasi jadi program pemerintah? Kenapa harus ada program “ekoteologi” yang dibuat Kemenag dan dananya entah berapa miliar? Emangnya rakyat butuh ceramah tambahan buat tahu banjir itu nyusahin? Kita udah paham kok, yang gak paham itu justru pemegang kuasa yang bikin aturan asal-asalan.
Ironisnya, negara sering nyuruh masyarakat buat sadar lingkungan, padahal pelanggaran terbesar justru dari pihak-pihak yang punya izin. Perusahaan sawit, tambang ilegal, pembabatan hutan skala besar—semua itu bukan kerjaan rakyat biasa. Tapi yang disuruh tobat malah rakyat. Aneh gak sih?
Yang Kita Butuh Itu Negara Peduli, Bukan Ceramah Tambahan
Saya gak bilang program ekoteologi gak penting. Tapi konteksnya salah. Ini bukan masalah kita gak paham hubungan manusia dan alam. Ini masalah infrastruktur, hukum yang lemah, dan korupsi dalam proyek-proyek lingkungan. Ekoteologi tanpa aksi negara tuh kayak ngasih ceramah sambil buang sampah sembarangan. Nanggung dan nyebelin.
Kalau emang serius soal lingkungan, kenapa gak fokus ke konservasi hutan? Kenapa gak bikin kebijakan tegas soal limbah industri? Kenapa gak ada audit rutin buat perusahaan yang eksploitasi alam? Kenapa rakyat kecil disuruh bersih-bersih sungai, sementara di hulu airnya udah penuh limbah dari pabrik?
Kalau program ekoteologi ini buat “mengajak umat” lebih peduli, ya monggo. Tapi jangan jadikan ini proyek negara besar-besaran. Karena masalahnya bukan cuma soal kurangnya kesadaran masyarakat. Tapi soal bobroknya sistem yang gak pernah belajar dari bencana.
Negara harusnya jadi garda terdepan, bukan malah lempar bola ke masyarakat dengan balutan moral agama. Apalagi kalau duit miliaran dipakai buat bikin modul, pelatihan, dan seminar yang ujung-ujungnya cuma jadi bahan dokumentasi buat laporan.
Stop Teorisasi, Start Aksi Nyata
Kemenag boleh bikin program. Tapi tolong, jangan jadikan agama tameng buat nutup kegagalan kebijakan lingkungan. Kita butuh tindakan nyata: hukum ditegakkan, hutan dilindungi, sungai dibersihkan, dan regulasi ditegakkan sampai ke akar. Edukasi boleh, tapi aksi lebih penting.
Ekoteologi itu manis. Tapi kalau cuma jadi tempelan proyek, ya tetap aja pahit buat rakyat yang tiap musim hujan harus naik atap sambil nunggu bantuan. Kita gak butuh simbol. Kita butuh keberpihakan. Bukan dari satu agama, tapi dari semua pihak—terutama negara.
0 Comments