BUMN Ancur-Ancuran, Sekarang Baru Kena Imbasnya

BUMN Ancur-Ancuran, Sekarang Baru Kena Imbasnya

Muda Senada - Kayak dunia kebalik: perusahaan negara rugi triliunan, tapi para bosnya tetap nerima bonus miliaran. Kita sebut ini “tantiem”, bonus yang katanya buat apresiasi kinerja.

Masalahnya, definisi “kinerja” di sini kayak dimainin. Laba tipis atau bahkan minus besar, tapi duit bonus tetap ngalir deras.


Kalau rakyat kecil salah dikit aja, langsung disuruh berhemat. Tapi kalau yang salah manajemennya, malah dapet reward. Logika macam apa?


Coba lihat contoh nyata. Bank Mandiri di 2024 cuma tumbuh 1,3% labanya, tapi tantim naik sampai 70%. Direktur bisa kantongin Rp78 miliar per orang, komisaris Rp38,8 miliar.


Di BRI, bonus naik 61% padahal laba stagnan. BNI malah lebih parah, bonus naik 82%. Sementara BCA—yang notabene swasta—bisa tumbuh 12,7% dengan bonus cuma naik 15%.


Jadi jelas, ada perbedaan kultur bisnis: BCA pakai akal sehat, BUMN kayak bikin reality show absurd.


Kasus paling bikin geleng kepala datang dari Wijaya Karya. Perusahaan konstruksi ini rugi Rp7,7 triliun di 2023, lalu rugi lagi Rp2,4 triliun di 2024. Tapi direksi dan komisarisnya tetap nerima bonus miliaran.


Rasanya kayak nonton film komedi hitam: perusahaan nyaris tenggelam, tapi kapten kapal masih sempat bagi-bagi hadiah.


Nalar bisnis paling dasar aja bilang, bonus datang dari laba. Kalau rugi? Ya stop dulu, jangan bikin pesta.

Ketidakadilan Sistem dan Imbas ke Publik


Kalau ngomongin rasa keadilan publik, ini udah keterlaluan. Uang negara—yang notabene hasil keringat rakyat—dipakai buat bonus yang nggak masuk akal. 


Bayangin, rakyat disuruh berhemat, disuruh bayar pajak tepat waktu, tapi uang itu akhirnya jatuh ke kantong petinggi BUMN yang kinerjanya nggak ngasih hasil nyata.


Ini kayak drama kelas sosial: rakyat jadi figuran yang bayar tiket, sementara elit BUMN jadi aktor utama yang pesta.


Efeknya ke APBN jelas nyata. Dana yang seharusnya bisa dipakai buat bangun sekolah, rumah sakit, atau jalan, malah nyangkut di pos bonus direksi dan komisaris.


Ibarat ember bocor, APBN terus kehilangan air gara-gara lubang-lubang kecil yang sengaja dibiarkan terbuka. Publik jadi korban ganda: bayar pajak lebih, tapi fasilitas tetap minim.


Ada hitungan konkret: kalau praktik tantim disetop sesuai regulasi baru, negara bisa hemat sampai Rp18 triliun.


Angka segede itu harusnya bisa dipakai buat subsidi pendidikan, kesehatan, atau bahkan memperkuat cadangan pangan.


Jadi pertanyaannya simpel: mau terus biarin uang bocor, atau pilih akal sehat dengan sistem kompensasi yang adil?


Kontradiksi makin kelihatan ketika kita bandingkan dengan kondisi masyarakat sehari-hari.


Banyak keluarga harus mikir keras buat bayar listrik atau biaya sekolah. 


Sementara di atas sana, komisaris yang rapatnya mungkin cuma beberapa kali setahun bisa pulang bawa puluhan miliar.


Situasi ini nggak cuma bikin geram, tapi juga nunjukin betapa jauhnya realita manajemen BUMN dari kehidupan rakyat yang mereka klaim layani.

Harapan Reformasi dan Momentum Perubahan


Meski suram, tetap ada cahaya kecil. Beberapa pemimpin udah mulai angkat suara, bahkan di pidato resmi, buat bilang praktik ini absurd. Langkah pemerintah melalui Danantara, muncul buat ngeblokir celah bonus ini.


Komisaris dan anak perusahaan BUMN dilarang lagi terima tantiem atau insentif lain yang nggak nyambung sama kinerja nyata.


Kalau aturan ini beneran jalan, berarti ada harapan tata kelola kita bisa balik ke jalur waras.


Intinya, integritas harus jadi pondasi. Bonus wajar kalau ada profit. Kalau rugi, ya jangan minta jatah.


Gampang, kan? Sama kayak logika di rumah: kalau dompet kosong, ya nggak usah maksa pesta. Kenapa hal sesederhana ini malah ribet di level perusahaan negara?


Reformasi ini bukan cuma soal angka, tapi moral. Kita butuh sistem yang bisa ngehargain kerja keras, bukan sistem yang nyuapin hadiah ke orang-orang yang gagal perform.


Kalau momentum ini bisa dijaga, mungkin publik akhirnya bisa percaya lagi bahwa BUMN beneran buat kepentingan rakyat, bukan buat elite yang rakus.

Harapan Reformasi dan Momentum Perubahan


BUMN sekarang lagi kena imbas karena sistem yang salah kaprah bertahun-tahun. Bonus di tengah kerugian adalah bentuk absurditas yang bikin publik muak. 


Harapannya, reformasi yang lagi digodok bisa jadi titik balik buat balikin akal sehat.


Karena pada akhirnya, yang kita butuhin sederhana: kinerja nyata dihargai, kegagalan diberi evaluasi, bukan hadiah.



Kredit: Youtube Bennix

Post a Comment

0 Comments